Tampilkan postingan dengan label Story. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Story. Tampilkan semua postingan

Senin, 23 Juli 2012

"Lengkungan lembut sebuah raut" (Senyum 3)


:14th of January’12

January baru di tahun berikut setelah tahun lalu sang Dara mulai merasa perlu menuangkan cerita di salah satu halaman kosong diary-nya lagi. Tahun lalu, dengan  tanggal yang sama, suasana yang sama dengan ritme hujan di sela malam… Hanya saja dulu hanyalah selembar surat berbahasa Inggris yang ditujukan untuk Janny dari Larry yang sama sekali tidak nyata ada dalam hidup Dara. Dara hanya merasa suka dengan kedua nama itu. Dengan semangat yang jelas ada atas rasa ‘ingin juga’ nya Dara yang sehabis membaca sebuah tulisan komedi milik Raditya Dika, yang sebagian besar adalah kisah hidup sang penulis. Entah kenapa akhir-akhir ini Dara seakan rindu dengan berlembar-lembar tulisan fiksi atau nonfiksi yang bisa buat Dara tertawa sendiri di pojok kamarnya, ataukah yang membuat ada perasaan berseri-seri membuncah saat bagian membahagiakan dari tokoh di dalam cerita sebuah buku, ataukah yang membuatnya begitu kecewa serta miris sendiri  di bagian menyedihkan dari sebuah cerita pada buku, atau juga perasaan menemukan masukan serta kata-kata yang membuatnya segera mengkutip sebagian kata-kata itu di handphone-nya. Dengan mood yang sedang begitu baik itulah, dalam seminggu Dara sudah menjelajah ke berbagai cerita hidup, bahkan berbagai negara melalui buku-buku yang hanya dipinjamnya melalui beberapa temannya. “Luar biasa hebat rangkaian kata lebih bisa menjabarkan sebuah makna daripada tampilan gambar-gambar yang tidak bisa dengan detail memaknainya”, pikir sang Dara dalam hati. Padahal buku-buku yang ludes dalam seminggu itu tidaklah semuanya buku yang baru dipinjam, melainkan sebagiannya buku-buku lama yang niat hati ingin membacanya namun gagal karena rasa yang paling tidak bisa dikalahkan oleh diri sendiri, yaitu rasa malas. Tidak hanya itu, tugas kuliah pun menjadi alasan sang Dara untuk hanya sekedar melirik buku-buku itu tanpa punya kesempatan  untuk membuka, lalu memulai setiap katanya untuk dibaca. Mungkin kesempatan itu selalu ada di setiap waktu, hanya saja alasannya kembali kepada alasan awal, rasa malas yang tak kunjung menipis. Buku-buku yang baru-baru saja sang Dara baca dan jelajahi setiap kejadian dan tempat ceritanya adalah buku cerita romantis berjudul “Autumn in Paris” and “Summer in Seoul” yang mana keduanya adalah hasil tulisannya Ilana Tan, lalu “A series of Unfortunate Events” yang bahkan filmnya telah Ia tonton milik Lemony Snicket, yang padahal cerita berseri namun hanya bisa Ia baca untuk seri ke tiga, kemudian “Moonlight Waltz” karya Fenny Wong yang sang Dara pinjam begitu lama pada salah seorang teman yang dengan merasa bersalah telah meminjamnya selama itu, hingga tulisan komedinya Raditya Dika “Marmut Merah Jambu”. Meski kadang ada beberapa orang yang bilang untuk jadilah penulis yang memiliki karya yang berkualitas atau tidak sekedar menulis tapi juga memberikan manfaat kepada pembaca, tapi bagi sang Dara pribadi para penulis-penulis di muka bumi adalah orang-orang yang memberikan manfaat melalui tulisannya, dan setiap buku memiliki hal positif yang bisa dibagi serta manfaat yang bisa dicerna, bahkan terdapat informasi yang bisa diterima. Tidak ada yang tidak berguna baginya, hal kecilpun bisa disebut berguna bagi sang Dara. Hal itu mengibaratkan dirinya yang tidak pernah menyesali membaca sesuatu, apalagi merasa telah buang-buang waktu membaca setiap kata pada setiap lembaran di setiap buku. Mungkin begitulah caranya menikmati hidup.

Gambaran di atas bukan bermaksud menggambarkan sang Dara jadi bergelar ‘si kutu buku’. Sang Dara hanya sang gadis moodyan yang baru saja dua hari digiring dengan angka 21 (umur). Selamat atas usia 21 tahunnya sang Dara J

Ada beberapa kata-kata di semua buku itu yang segera sang Dara catat melalui handphone-nya. Sang Dara begitu suka akan permintaannya Jung Tae-Woo kepada Sandy, yang adalah karakter-karakter pada buku Summer in Seoulnya Ilana Tan, “Kalau suatu saat aku rindu padamu, bolehkah ku katakan padamu?”. Tidak hanya itu, pada bukunya Raditya Dika sang Dara suka dengan pertanyaan yang dibuat penulisnya itu “Apa yang harus kita lakukan pada kenangan yang memaksa untuk terus diingat?”.

Rabu, 18 Mei 2011

"Lengkungan lembut sebuah raut" (Senyum 2)

Sudah beberapa minggu sepotong naskah novel buatan Dara terabaikan oleh Dara yang sungguh tidak bisa konsisten akan hobi menulisnya itu. Padahal, hatinya sungguh selalu ingin menuangkan segala yang ada di pikiran ke dalam serangkaian kata demi kata, kalimat demi kalimat, dan paragraf demi paragraf. Tapi...... entahlah...... ia hanya selalu merasa menulis bukan tentang target seberapa banyak yang telah ditulis, ataukah seberapa seringkah kata-kata dirangkai, dan seberapa jelas kah tulisan itu dimengerti. Ia hanya tahu bahwa menulis adalah ketika ia benar-benar sadar ada waktu yang tepat dimana inspirasi membantu menciptakan pilihan kata yang ideal terhadap suatu pendiskripsian tentang seseorang, sesuatu, suatu tempat, ataukah objek lain agar terbentuklah keserasian dari satu kata dengan kata yang lain. Tidak hanya sampai disitu, sedari dulu Dara berpikir bahwa dengan tulisan lah ia bisa mengekspresikan segala rasa yang sungguh tidak dapat ia sampaikan. Meski sering tulisannya tidak dapat dipahami orang lain. Tapi itulah yang ia mau, ia mau agar tidak ada yang mengerti bahwa makna tulisannya seperti sebuah keluh kesah ataukah rasa bahagia nya. Dan.... ia bahkan mulai beranggapan bahwa tidak seorangpun di dunia ini yang begitu ia percaya bisa merespon ceritanya dengan apa adanya tanpa terlihat begitu mendukung di hadapannya tapi menyalahkan di belakangnya. Yeah that's it. Hmmmm... semua itu terkesan bahwa sebuah kepercayaan sungguh sulit ia lihat di mata orang-orang terdekat ataukah di sampingnya.
 
Dara memang hanya gadis yang sudah tidak bisa disebut belia, meski juga belum bisa disebut sebagai seorang wanita dewasa. Terkadang... pembawaannya yang sendu membuat orag berpikir ia tidak sedang baik-baik saja. Tapi Dara selalu menekankan pada diri sendiri "jika terselip rasa bahagia di hati ini, bukan tidak mungkin aku hanya diam tanpa tawa. Karena bahagia tidak selalu tertawa riang ataukah melompat girang bukan? Dan jika tertoreh luka serta ku rasa pedih, tidak ada larangan untuk bersikap sungguh biasa tanpa raut murung untuk sekedar menyimpannya sendiri dalam hati bukan?". Hmmmm... begitulah ia, terkesan seperti loner. Tapi jauh sebelum hari ini ada, Dara seorang yang terkenal ceria dan pernah memiliki hari-hari yang penuh canda. Hanya saja, waktu dan orang-orang di dalam hidupnya mengeraskan hatinya hingga ia tidak lagi begitu dramatis menghadapi sesuatu. Ia terbentuk menjadi pribadi yang terbiasa tenang menghadapi masalah, jauh dari Dara yang begitu panikan ketika dulu dihadapkan pada suatu masalah sederhana yang hanya Dara lah satu-satunya yang memikirkan masalah itu, padahal yang dipikirkan saja mengacuhkan masalah itu. Ya... ya... ya.... Allah memang begitu hebat menciptaan waktu yang memilki banyak definisi istimewa dari banyak pribadi. Ada yang mendefinisikannya sebagai sesuatu yang bisa memperbaiki atau bahkan merusak sesuatu. Ada juga yang berpendapat bahwa waktu lah yang jadi penentu sesuatu. Selain itu ada yang coba beropini bahwa waktu lah yang akan menjawab rasa ingin tahu yang besar dari dalam hatis eseorang. Dan bagi Dara, waktu mengubah banyak hal, meski tidak segalanya.

Rabu, 13 April 2011

"Lengkungan lembut sebuah raut" (Senyum 1)

Hujan........... aroma lembabnya masih bisa terasa segar, meski kadang selewat udara menusuk menyisip hingga ke tulang. Sederhana dengan hanya rintik demi rintik hingga mulai memburamkan pandangan menutupi alam. Menenangkan dengan rintik kecilnya hingga terasa meresahkan. Hujan..... itu hujan bukan? itu aku....

Pelangi......... tidak begitu jelas awal terlihat. Sebenarnya, ranah warna yang ditawarkan sungguh terasa begitu menyenangkan. Tak hanya satu garis warna yang syarat akan cerah, garis berikutnya mulai tampak, garis berikutnya semakin nampak, sangat nampak, terlalu nampak, hingga jelas terlihat lengkungan yang terasa begitu lebih dari sekedar cerah. Hanya saja, serangkaian huruf sungguh tak dapat dipilih demi lengkungan luar biasa di aura pelangi yang benar-benar kini ku pikir senyum pelangi. Bukan.... bukan sekedar itu, bahkan naluri ku mulai menetapkan pikiran itu atas dasar pelangi yang sungguh dengan garis-garis warna membentuk lengkungan senyum dengan angkuhnya hadir sesaat setelah hujan berlalu. Pelangi...... itu pelangi bukan? itu dia.....

Entahlah dengan alasan apa, hanya saja pelangi mulai menitipkan rasa ragu di sebuah ruang sebagai bagian dari hujan. Hujan enggan memastikan munculnya sang senyum pelangi di tiap hari meski hujan bersedia megulur waktu menunda reda. Terkadang, hujan bahkan diam-diam mengintip di celah langit saat pelangi mulai hadir mewarna langit. Hujan awalnya hanya sekedar berwujud rintik diam-diam, hingga mulai melebat, terus melebat, dengan jelas terus melebat membuat pelangi tersadar akan hadirnya hujan. Meski sesaat pelangi akan terasa hangat bersamaan dengan hujan, namun percayalah... pelangi akan mencoba memudar dan menyatu dengan langit hingga hanya hujan yang semakin resah.

"Hmmmh.......... sungguh besar rasa kesalku tidak dengan tepat mendeskripsikan pelangi. Sungguh tidak selalu lagi ku lihat pelangi. Ataukah pelangi yang sudah seharusnya telah menyatu dengan langit. Mikir apa aku ini." Gumam sang Dara dalam hati sambil memandangi potongan naskah novel buatannya.